Jumat, 16 Januari 2015

Ibu dan kantor mungilnya

 Wanita itu sedang berkutat dengan peralatan kantor yang dimilikinya sendiri. Di tangannya yang dingin, semua alat kantornya digunakan semaksimal mungkin. Semua nya sudah dipersiapkan, mulai dari pisau, telenan, penggorengan, kompor yang sebelumnya dibersihkan hingga mengkilat, wajan yang sudah menghitam dibagian pantatnya, panci berdiameter dua puluh sentimeter yang bisa menampung dua liter air, serta sebagian ide yang menuntut otaknya berpikir untuk mencipta suatu masterpiece dalam kantornya yang berukuran tiga koma tujuh puluh lima meter persegi. Menurutnya itu tak terlalu sempit, sudah lebih dari cukup. Setidaknya Dia masih bisa bergerak luwes. 

 Kantornya masih beratap seng, dengan lubang-lubang kecil seukuran lima kali diameter jarum jahit yang menyebar tidak merata. Terkadang Dia sangat jengkel kala hujan, karena akan membuatnya ekstra sibuk menyiapkan baskom-baskom yang berisi kain gombal untuk menadah air hujan yang masuk melalui lubang-lubang itu. Apakah Dia mengeluh ? iya, mungkin, mungkin saja dalam hati nya. Pernah dia berkata kepada suaminya untuk bisa memperbaiki atap kantornya. Dan usaha terbaik yang bisa dilakukan sang suami adalah menembel lubang-lubang tersebut. Awalnya berhasil, namun lubang-lubang itu seakan menuntut keberadaanya untuk selalu ada menghiasi ruang kantor wanita itu. Baiklah, tak masalah, pikirnya, hanya menunggu waktu dan menunggu rejeki datang agar atap seng kantornya bisa tergantikan dengan yang baru. Toh lubang-lubang itu memberikan kesan nature saat cahaya matahari dengan semangatnya menerobos masuk dan memberikan penerangan lebih pada kantornya. Oh, tentu saja Dia masih berharap memiliki atap genting.


 Semua kuman dan kerak yang melekat pada piring, garpu, gelas serta sendoknya sudah berhasil dimusnahkan oleh wanita itu sejak subuh. Dia hanya berpikir jangan sampai keluarganya akan kesusahan menemukan alat makan. Dengan gerakan gemulainya dia mulai bekerja, menciptakan apa yang disebutnya adalah masterpiece. Sembari menunggu airnya memanas, tangannya yang memegang pisau dengan cekatan memotong daun bayam dari tangkainya, mengiris rempah kunci menjadi potongan kecil, dan menjadikan bawang putih yang berupa siung menjadi lembaran-lembaran tipis. Semua siap dicemplungkan ke air yang memanas itu. Kepul asap keluar dari panci nasi disebelahnya, tersenyum kecil, Dia membuka tutupnya, menggantungkannya pada dinding kantornya yang berupa batu bata yang dicat putih namun menghitam karena seringnya terkena asap, dan melihat nasi putih nya matang dengan sempurna. Sekarang Dia bersiap membuat sayur bayam nya. Memasukan daun-daun bayam itu, potongan rempah kunci, lembaran-lembaran bawang putih, bumbu masakan bersachet dan garam. Setelah menutup panci dengan penutupnya, sekali lagi dia memastikan nyala apinya menyala dalam keadaan yang pas. Dan Dia akan menunggu sayurnya matang sembari menonton televisi.

 Salah satu acara favoritnya adalah acara memasak. Sejak jaman Sisca Soetomo sampai Chef Farah Quinn Dia selalu menyukai acara memasak. Matanya selalu berbinar semangat kala sang koki memeragakan gerakan mengulek, mengaduk, mengiris bahkan menuang adonan. Semua peralatan itu hanya bisa dinikmatinya dalam layar kaca. Kenyataannya kantor yang dimilikinya masih belum bagus seperti yang tampak dalam acara memasak itu. Aset kantornya masih belum selengkap itu untuk bisa membuat masterpiece seperti yang sang koki buat. Bagaimana bisa Dia membuat jus apel kesukaan putranya tanpa blender, tidak mungkin ada produk roti yang tercipta di kantor nya tanpa mixer dan oven, dan tetu saja tanpa lat pemanggang tidak akan ada ayam panggang dalam piring makan malam keluarganya. Bahkan ketika semua teman-teman tetangganya sudah memakai ricecooker untuk menanak nasi, dia masih setia dengan pancinya. Tidak, masih belum. Dia masih belum memiliki alat-alat itu. Dan mungkin suatu saat ketika Dia sudah memilikinya maka lembaran lembaran catatan dan buku masak yang tersipan rapi di rak buku dapat menjadi kombinasi yang sempurna ketika Dia bekerja di kantornya.

 Seperti hari-hari lainnya, Wanita itu berhasil menghidangkan sarapan untuk suami dan ke dua anaknya. Hatinya senang ketika sayur hijau itu dengan cantik menemani nasi putih yang mengepul hangat dalam piring yang akan digunakan keluarganya untuk sarapan. Dan kembali tersenyum lebar melihat piring-piring itu kosong beberapa saat kemudian.

***

 Air itu mengguyur seluruh tubuhku mulai dari rambut hingga kuku kakiku, memberi setruman kecil pada kulitku dan membuat mataku semakin tersadar kalau aku sudah terjaga dari mimpi aneh yang tak bisa kuingat. Aku sangat tidak mentolerir siapapun yang menganggu waktu mandiku. Itu adalah salah satu me time dari sekian banyak waktu dalam dua puluh empat jam yang diberikan oleh Tuhan dalam menjalani semua schedule kacau hari itu. Terkadang lamunanku sudah sangat keterlaluan kalau sedang mandi dan akan tersadar dengan suara denting logam maupun kayu. Suara itu berasal dari dapur yang letaknya bersebalahan dengan kamar mandi. Entah apa pikiran arsitek yang dulunya mendesain rumah perumnas lawas yang kami tinggali ini. Ayolah, ini konyol. Tak seharunya dapur dan kamar mandi harus bersebelahan kan ? maksudku, pernah aku terjebak dalam kamar mandi dengan kepulan asap sambel terasi yang sedang digoreng ibuku. Dan membuatku batuk kurang lebih tiga menit tanpa ampun. Aku tak pernah menyalahkan ibuku yang sedang menggoreng sambel terasi. Aku mengutuk arsitek yang mendesain rumah ini.

 Aku sudah berpakaian, merapikan rambutku, dan melangkah keluar kamar. Ibuku orang paling sibuk setiap pagi. Setiap pagi sebuah hidangan tersaji untuk kami. Kali ini menunya sayur bayam, bisa kulihat dalam panci yang mengepul itu. “Ndang sarapan, iku ibuk wes masak sayur bayem, segone ono nang panci “ kata ibu padaku sambil tangannya sibuk menuang air panas ke dalam gelas teh untuk ayahku . “ Iya, Buk “ jawabku sambil tersenyum menatapnya. Segera kuambil piring beserta sendok dan garpunya, mengisinya dengan takaran nasi yang sanggup dicerna oleh lambungku dan menghiasinya dengan sayuran bayam yang masih panas itu. Walaupun toh fisiknya secara biologis telah mengalami masa aging, rambutnya beruban di sana-sini, kulit mukanya sudah tidak sekencang dulu, bahkan mengendor di beberapa tempat, itu sama sekali bukan hambatan bagi Ibuku dalam menyajikan sarapan pagi ini. Aku melahap habis sarapanku, memastikan tidak ada yang tersisa dalam piringku kecuali potongan rempah kunci yang memang tidak bisa dimakan. Setidaknya itu membuat ibuku senang pagi ini, tahu kalau Dia sukses untuk kesekian kalinya menyiapkan sarapan.

***

Surabaya, 17 Januari 2015
Dalam sebuah dapur yang Engkau sebut kantor, 
dengan kepulan asap sambel goreng terasi
pada umur mu yang ke 51 tahun.

Tidak ada komentar: