Point of view
tenda kami, secara ekslusif menampilkan sosok segara anakan. Sebuah danau dengan
ketinggian duaribu delapan meter di atas permukaan air laut yang dikelilingi
oleh gunung gunung kecil berwarna abu abu pucat yang saling menyambung bagai
ular raksasa penjaga danau. Warna airnya jelas biru, dan sesekali awan putih
terbang dengan malasnya melewati atas danau. Terkadang kabut putih tebal
menyerbu dan sempat menculik sang danau dari pengelihatan kami sesaat, dan
berbaik hati mengembalikan pemandangan itu lagi.
Sumber mata air Plawangan berada
agak jauh kebawah dari tempat tenda oranye kami, kali ini tenda oranye punya
teman, tenda abu-abu, milik rombongan kami juga. Perlu waktu sekitar sepuluh
menitan menuju sumber air, nyaris memberikan tantangan sendiri menuju kesana,
pasalanya kami dituntut melakukan gerakan – gerakan mendaki untuk menuju ke
sana. Gambarannya tempat sumbernya seperti ini, masih sangat alami karena tidak
ada perpipaan yang menjadi sarana transportasi air. Areanya ada dua sebelah
kiri dan kanan. Bagian area yang kanan nampak air mengalir merembes sepanjang
batu-batu yang tersusun membentuk tebing. Seperti tetesan hujan secara konstan,
ada beberapa titik tempat keluarnya air tersebut. Dan area sebelah kiri titik
keluarnya air hanya satu, namun cukup mengalir dengan deras.
Jika sisi depan tenda kami adalah
lukisan Segara Anakan, maka berbeda dengan sisi kiri tenda kami, Sang Empu yang
licik, menjebak ratusan pendaki yang sengaja untuk datang menemuinya, hanya
untuk sekedar memamerkan setitik keindahan tak ternilai dari bagian dunia. Gunung
Rinjani tampak anggun, dengan gaun cokelatnya yang sama saat pertama kali
kulihat sosoknya di jalur awal pendakian. Sedikit menangkap surat tantangan
dari angin yang melaju, Sang Gunung menyampaikan pesannya secara tersirat,
mesra “ silahkan perawani aku wahai manusia kecil, capailah ke arahaku, dan
dapatkan harta sejati yang selama ini kau inginkan dariku “. Sialan !! aku
mengumpat, cantik sekali si Rinjani.
Dentingan nasting, tangan – tangan
gemulai yang sibuk meracik mahakarya kuliner yang kami ciptakan sendiri, api
mungil yang mampu membuat sekitar limaratus mililiter air mendidih dengan
tersendat – sendat serta tungku buatan yang telah berhasil kuciptakan mampu
membuat spiritus ungu itu menyala berkobar. Jelas aku tidak mahir dalam
memasak, sedikit banyak aku belajar dari teman – temanku, maka dalam waktu
sekitar enam puluh menitan, mungkin ? sumber karbohidrat, protein serta glukosa
itu telah tersaji dan memanjakan usus ku untuk segera ditransfer menjadi energi
yang siap ku gunakan.
Jelas ada oknum yang harus
bertanggungjawab pada kami, bertanggungjawab karena berhasil membangunkan
sembilan nyawa yang tadinya tertidur dalam perlindungan tenda. Dingin menusuk
nusuk kain tenda, berusaha menembus. Suasana diluar tenda adalah pemandangan
yang aneh, ratusan titik cahaya menyala berbaris berjajar dan mengular.
Nampaknya pendakian telah dimulai. Setelah berkutat pada alat perlindungan diri
masing masing toh pada akhirnya kami juga masuk dalam barisan panjang mengular
tersebut. Sebenarnya ini keputusan yang agak ngeri, mengingat kondisi
perbekalan kami yang cukup ekstrim : satu setengah liter air dan dua nasting
puding, masing masing vanila dan cokelat, untuk sembilan dari kami. Yaah, kami
ambil resiko itu, resiko menyeramkan kalau kataku, well, masing masing harus
sudah menyadari dan harus bertanggungjawab atas diri serta kelompoknya. Ya
Tuhan, kuatkan nyawaku. Kuatkan kedelapan nyawa sahabatku.
Aku cukup bangga terhadap adaptasi
aneh yang diberikan oleh tubuhku, walaupun ingin sekali rasanya punya botol
minumku sendiri, namun setidaknya tubuhku bisa menekan kebutuhan airnya,
mengkondisikan bagaimanapun caranya air yang kami miliki bisa tersuplai rata.
Aku menatap lurus ke atas, sejauh yang leherku bisa mendongak. Mengamati, sekali lagi, ini pemandangan aneh. Sejauh
yang ku lihat adalah titik titik putih panjang dan bergerak secara lambat,
namun pasti. Membuat semacam alur bagai jalan ular, tak perlu takut untuk
tersesat, pikirku, karena jelas cahaya titik itu menuntunmu hingga puncak.
Walaupun toh aku bersikukuh bahwa kami harus tetap bersama, namun apa daya.
Kami harus menghargai kondisi, kami harus menghargai sikap, kami harus
menghargai tujuan pasti. Dan masing – masing punya caranya tersendiri untuk
itu. Terpisah yang menyenangkan.
Jalanku mantap, atau setidaknya aku
berusaha keras untuk memantapkannya. Sadar bahwa pengendalian telapak kakiku
harus menyeimbangi langkah kaki seseorang. Sudah pasti tidak akan mendahului
sumber energi semesta dari tanah puncak, namun siapa yang peduli ? yang jelas
aku menikmati berjalan bersama dengan temanku. Posisi matahari agak
menjengkelkan, tentu, karena ada dibalik sisi kanan lekukan punggung Rinjani.
Sungguh tidak apa, kebahagiaan kecil tetap terabadikan dalam kamera ponsel
kami. Kali ini alur itu semakin jelas, punggung Rinjani melekuk menjadi tiga
bagian ke arah kanan yang meninggi hingga samar kulihat warna merah dan putih
itu mnegejek dari atas, berkibar. Sisi kananku menampilkan rona biru segara
anakan, serta, jika mau teliti, maka nampak gunung Agung dari pulau Bali,
terlihat jelas. Kami sudah di atas lautan gelombang gumpalan gulali putih.
Rasanya seakan sudah tidak peduli
dengan persaan kebas di tubuhku akibat jaket yang ku kenakan. Nyaris selalu
bertanya kapan jalanan yang didominasi kerikil dan bebatuan ini akan berakhir. Tiba
– tiba saja pelukan selamat datang menyertaiku, pelukan keberhasilan, pelukan
hangat dari teman – temanku. Dan seketika tubuhku sudah ambruk, aku berusaha
meluruskan kakiku, dan memandang palang merah bertuliskan tigaribu tujuhratus
duapuluh enam meter di atas permukaan laut. Bendera merah – putih berkibar
tanpa mempedulikan tatapanku. Aku berhasil, sebagian kami berhasil. Seakan
berbisik mesra ke telinga Rinjani, “ hei, lihat, aku dan temanku berhasil
melaksanakan tantanganmu ! “ . Aku menghirup udara sekuat yang bisa kulakukan,
berusaha mendapatkan sebanyak mungkin oksigen guna memanjakan otot – otot ku
yang protes kelelahan. Woow.
Selanjutnya adalah ritual
keberhasilan. Menyaksikan berbagai pasang mata yang berbinar senang, sesekali
menertawakan perjuangan konyol untuk dapat sampai ke sini, teriakan kemenangan,
air mata tentu saja, ponsel berkamera yang saling beradu memandang bosan ke
pemiliknya yang bergaya norak, bunyi jantung yang berdegub kencang terlalu
bersemangat memompa darah, ekspresi melongo, takjub, skeptis, senang, sedih
mungkin. Semuanya itu adalah ulah sel sensorik dan motorik serta saraf indra
para pendaki, melihat dengan rakus apa pun yang terlihat, menghirup dengan
serakah segala gas yang tersebar, mendengar sesuatu yang mereka sebut suara
alam, merasakan sentuhan lembut kasar partikel – partikel yang tercecar,
mensesap pengalaman saat tubuhnya berada di puncak gunung Rinjani. Apa yang
disuguhkan Rinjani tampak begitu luar biasa.
Aku yakin titik oranye sebesar
sepersekian juta mili meter itu adalah tenda milik kami. Aku sadar jalu
pendakian kami ternyata sangat panjang dan menarik. Sesuatu yang dengan jelas
terlihat dari atas ketinggian ini. Kira – kira kami diharuskan turun sejarak
vertikal sebesar seribu tujuhratus delapanbelas meter, dan entah berapa kilometer
dalam jarak vektor langkah kaki kami menuju tenda oranye tersebut. Nampak
tumbuhan edelwis di sisi kanan ku saat tiga perdelapan perjalanan turun,
sesuatu yang tidak kusadarai sampai cahaya mengenai tumbuhan paling seksi di
area punggung gunung ini. Salah satu aksesoris perhiasan Rinjani yang berharga,
edelwis itu. Salah satu pemandangan yang bisa ku lihat saat pantatku menempel
ke tanah sembari melemaskan otot kakiku, yang akan kupaksa membawa berat
tubuhku berjalan turun. Berjalan turun melalui jalur yang sama ketika kami
menginjaknya beberapa jam yang lalu.
Dan saat masa itulah seakan aku masuk
dalam wahana gratis yang dengan spesial diberikan Rinjani secara cuma – cuma.
Dia memanggil matahari dan menuntut kepadanya agar bersihkeras menemani perjalanan
turun kami, tepat diatas kepala ku, kepala kami semua. Dia menyediakan tanah
berkerikil yang mampu memantulkan bayangan semu ke dalam lensa mataku seakan
berusaha membuatku limbung. Hawa yang sedikit menyengat, hingga mampu
memperlambat aliran darah di otaku. Jalanku mulai gontai, aku berpikir bahwa
seperti inilah cara berjalan orang yang terlalu berlebih mengonsumsi cairan
beralkohol. Namun yang kali ini berbeda, aku bahkan nyaris tidak mengonsumsi
cairan apapun. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan apa itu
yang disebut dengan dehidrasi.
Detik seakan bergerak lambat, lebih
lambat dari siput. Sekan tak kenal ampun, detik selalu mempermainkan jarak
dengan tenda oranye kami. Sabar ? itu pasti, bahkan sampai meledak – ledak. Hal
yang kuingat sebelum akhirnya aku melahap dengan ganas indomie goreng mentah di
depan tenda kami adalah kabut tebal yang menyerbu pepohonan pinus dan menyublim
menjadi cair sehingga menghasilkan titik – titik air hujan dan jatuh bertebaran
ditudung jaketku. Aku membuka mulut dan menjulurkan lidahku sepanjang yang aku
bisa demi mendapatkan senyawa hidrogen minus yang bertransformasi dengan dua
ion oksigen. Sejuk, air embun berusaha membasahi lidahku yang terlanjur dijajah
oleh kalenjar.
Yang kemudian terjadi adalah obrolan
lagi. Saling mengolok sayang satu sama lain. Kembali berdesakan hangat dalam
sleeping bag. Kegiatan rutin yang monoton saat harus mengepak barang. Punggung
yang seakan sudah menyerah dengan teriakan protesnya seakan memang sudah tahu
akan tugasnya menerima beban carier. Hingga hening yang cukup menyenangkan.
Nafas yang sedikit atau mungkin secara terang – terangan menggebu. Dingin.
Pertanyaan yang hampir mirip dan mebutuhkan jawaban pasti dan sesegera mungkin.
Sesekali bunyi lambung merengek yang hanya bisa didengar oleh pemiliknya
sendiri. Berjalan, melompat, merangkak mengikuti alur sambil menyamakan
petunjuk waktu yang didapat. Permukaan kuning yang ramah dengan semburat hijau,
cokelat serta abu – abu menjadi santapan indera pengelihatan.
Hingga akhirnya langkah – langkahku
menjadi ringan saat melihat permukaan cair luas yang terjebak di ketinggian
duaribu meter ini. Segara Anakan tak mau repot menyambut kedatanagan rombongan
kami. Terlalu bosan dengan orang – orang
macam kami. Tapi toh dia tetap menyediakan ukuran kecil meter perseginya pada
kami, pada tempat tenda oranye kami berdiri. Kelegaan yang entah bagaimana
mendiskripsikannya. Aku tak pernah mengira akan berendam air panas belerang di
sisi lembah belakang Segara Anakan. Siapa peduli kalau aku bertelanjang dan
hanya memakai celana dalamku saja ? oke, memang ada yang mempertanyakan hal
itu, tapi masa bodoh lah. Kolam tampungnya sempurna, sempurna dari alam yang
bisa mereka berikan. Dengan air yang mengalir dari pipa besi yang tumpul akibat
endapan belerang, panas yang menyenangkan. Terapi yang sangat pantas didapatkan
oleh tubuhku. Melancarkan aliran darah, memanjakan otot leher, pundak, tangan,
kaki serta punggung. Aku berusaha menggosok lepas semua material tanah yang
melekat didiriku. Penghargaan tertinggi bagi kami bisa menikmati rendaman air
panas ini.
Kami berhasil memancing setidaknya
tujuh belas ekor ikan seukuran jari tengahku. Yaah, teman – temanku yang
berhasil melakukannya, karena aku sangat payah dalam memancing, tak seekor pun
bisa kutangkap. Salah satu makan malam terbaik ku, bagaimana tidak, dikelilingi
oleh orang – orang tangguh dengan landscape pemandangan danau yang akan membuat
orang lain iri saat kau menunjukan potret dirimu di depan danau. Kali ini
terlihat jelas sosok Segara Anakan, permukaannya hampir tenang, tak mau repot
dengan gangguan kerikil yang dilempar ke arahnya hanya untuk menciptakan
gelombang. Bukit yang mengelilinginya pun nampak memancarkan warnanya, abu –
abu dengan bercak hijau yang menunjukan segerombolan pohon yang menempel santai
di kulitnya. Agak tengah menjorok ke sebelah kiri terbentuk suatu gunung
berwarna cokelat. Perlu perahu agar bisa mencapai ke tempatnya, tapi menurutku
sungguh sangat tidak bijaksana menginjakkan sepatu mu di sana. Kabut turun
sesuai dengan siklusnya, bebek berwarna putih, satu keluarga kurasa, dengan
angkuhnya menggoyang – goyangkan pantatnya saat melewati menyebrangi danau.
Semua itu terekam dalam seperangkat
organ yang kumiliki. Seakan memang sudah dipersiapkan sesuai dengan fungsinya,
merekam, mencerna segala informasi yang didapat dari indera tubuhmu kemudian
menyimpannya dalam hardisk kasatmata yang sewaktu – waktu bisa kau putar kembali
rekaman tersebut. Malam itu adalah salah satu malam yang berbeda dari
kebanyakan malam yang ku lalui. Malam penuh titik cahaya bintang, jika
beruntung siluet bintang jatuh adalah pemandangan yang nyaris jarang bisa
didapatkan. Aku termasuk orang yang beruntung
tersebut. Dan apa salahnya memohon suatu permintaan ? berharap penuh dapat
terkabulkan. Malam dengan jaket serta syal yang melilit di atas ketinggian dua
ribu meter, berdesakan dengan tubuh – tubuh yang lelah. Semua terekam, kalaupun
terlewatkan, aku tak ambil pusing.
Aku mengingat sejernih otak ku bisa
memutar piringan kaset rekamannya. Perjalanan pulang melewati sisi lain lembah
ini, jalur Senaru punya tantangannya sendiri. Kami diwajibkan naik mencapai
titik bukit tinggi yag mengelilingi danau, dan selebihnya turun. Aku ingat alam
dengan pesonanya seolah memaksa kami menerima cindera mata yang diberikannya.
Temanku yang mendapatkannya, namun rasanya kami juga mempunyai rasa
memilikinya. Saling menjaga satu sama lain, sekali lagi sebuah pertolongan
adalah kebutuhan primer saat ini. saling menggenggam tangan saat menaiki anak
tangga yang terbentuk dengan cantik dari lereng bebatuan, dengan disuguhkan
pemandangan dari perspektif dan sudut yang berbeda saat menoleh ke arah Segara
Anakan, serta udara yang nyaris sejuk merasuk menembus tulang rusuk.
Aku jelas menyukai jalur Senaru.
Jalur ini berupa hutan rindang yang nyaman. Walaupun aku membenci beberapa
bagian saat kerikil – kerikil sialan itu mencoba masuk ke sela - sela sandal
dan kakiku yang berkaus kaki, namun toh aku hanya mengumpat dalam hati, efeknya
hanya beberapa lembar tambahan perban yang melingkar pada sepuluh jariku serta
telapak kakiku. Selebihnya aku masih bisa berjalan. Menariknya suasana yang
diberikan cukup damai. Cahaya matahari nampak berusaha menembus sela - sela
daun rindang pohon disekeliling jalur kami. Aku tak perlu mengkhawatirkan
oksigen, aku tak perlu mengkhawatirkan rasa sakit yang meusuk kepalaku.
Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, tanpa memperdulikan teori apapun. Mereka
bilang, teorinya adalah waktu yang diperlukan untuk menuruni gunung adalah
setengah dari waktu yang diperlukan saat mendaki. Dan itu hanya berlaku apabila
syarat dan ketentuannya dipenuhi. Sejauh yang kupahami, aku bahkan tidak
berusaha memenuhi syarat dan ketentuannya.
Perjalananku cukup bersahabat. Aku
dan temanku, cuman kami berdua yang ada pada gardu belakang. Dan tanpa
sepengetahuan kami berdua, sepertinya dari awal Senaru sudah merencanakan hal
ini. Jam terbangku masih tergolong sedikit dalam hal pendakian, jelas aku
belajar banyak dari percakapan yang kami ciptakan saat menuruni jalur Senaru.
Pengalaman mendaki, apa yang terjadi di belahan gunung lain, apa yang harus dan
tidak dilakukan, kadang kami mencaci maki perbuatan konyol kami. Aku sedikit banyak
menjadi pendengar, sesekali aku menimpali dengan cerita yang memang diperlukan.
Berusaha mengimbangi percakapan, dan yah, usahaku tak terlalu buruk, usaha kami
untuk mengacuhkan waktu bisa dinilai berhasil. Semuanya keluar sebisa lisan
mampu mengeluarkannya, tugas kuliah, dosen, angkatan, politik, pemerintahan,
badan eksekutif mahasiswa, studi eksursi, laboratorium, himpunan mahasiswa
sipil, eiger, limbah, cairan, personality seseorang, caci maki, kebanggaan,
himpunan mahasiswa teknik kimia, Surabaya, Jakarta, Lombok, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, beton, dinamika kampus, sosial masyarakat, interaksi serta
tetek bengek yang menyertainya. Senaru berhasil membius lisan kami.
Gerbang itu terlihat jelas,
melengkung hijau dengan cat bertuliskan warna putih. Ini adalah titik akhir
yang akan terlihat sebagai titik awal bagi mereka yang melewati kami dari arah
berlawanan. Namun saat itu sore, aku ragu ada yang berusaha mulai pendakian
saat seperti ini. Warung kecil dengan dinding bambu, beratap seng, adalah
bentuk peradaban yang pertama kali kami lihat sesaat setelah kami melewati
gebang beton itu. Segera saja kebutuhan energiku terpenuhi. Malam itu kami
tidur tidak lagi dalam tenda oranye kami. Kami tertidur dalam lantai beralaskan
tikar, serta tambahan ekstra bantal empuk yang terakhir kurasakan semenjak enam
hari yang lalu. Dengkuran lembut terdengar bagai lagu nina bobo malam itu.
Dalam sebuah rumah ramah milik seorang penduduk yang sangat welcome menerima
para pendaki.
Seakan menyedot ingatan waktu,
begitu cepat bagai kedipan mata. Menarikku sejauh berkilo kilo meter jauhnya
dari Rinjani ke tempatku berada, dalam kondisi yang sama, saling berhimpitan
dalam sleeping bag, kali ini bukan dari tenda oranye, melainkan dari tenda
hijau tempat kami berempat menghabiskan dingin malam ini. Dalam dingin
membekunya udara pegunungan Dieng. Mencoba berkompromi dengan malam, kupaksa
kelopak mataku tertutup. Dalam hati menghitung jumlah letusan kembang api serta
titik lampion yang beberapa menit yang lalu kami saksikan. Berterimakasih atas sekelumit
ingatan tentang tenda oranye tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar