Senin, 01 Desember 2014

Langit Itu Milik Tenda Oranye (2)




Point of view tenda kami, secara ekslusif menampilkan sosok segara anakan. Sebuah danau dengan ketinggian duaribu delapan meter di atas permukaan air laut yang dikelilingi oleh gunung gunung kecil berwarna abu abu pucat yang saling menyambung bagai ular raksasa penjaga danau. Warna airnya jelas biru, dan sesekali awan putih terbang dengan malasnya melewati atas danau. Terkadang kabut putih tebal menyerbu dan sempat menculik sang danau dari pengelihatan kami sesaat, dan berbaik hati mengembalikan pemandangan itu lagi.
            Sumber mata air Plawangan berada agak jauh kebawah dari tempat tenda oranye kami, kali ini tenda oranye punya teman, tenda abu-abu, milik rombongan kami juga. Perlu waktu sekitar sepuluh menitan menuju sumber air, nyaris memberikan tantangan sendiri menuju kesana, pasalanya kami dituntut melakukan gerakan – gerakan mendaki untuk menuju ke sana. Gambarannya tempat sumbernya seperti ini, masih sangat alami karena tidak ada perpipaan yang menjadi sarana transportasi air. Areanya ada dua sebelah kiri dan kanan. Bagian area yang kanan nampak air mengalir merembes sepanjang batu-batu yang tersusun membentuk tebing. Seperti tetesan hujan secara konstan, ada beberapa titik tempat keluarnya air tersebut. Dan area sebelah kiri titik keluarnya air hanya satu, namun cukup mengalir dengan deras.
            Jika sisi depan tenda kami adalah lukisan Segara Anakan, maka berbeda dengan sisi kiri tenda kami, Sang Empu yang licik, menjebak ratusan pendaki yang sengaja untuk datang menemuinya, hanya untuk sekedar memamerkan setitik keindahan tak ternilai dari bagian dunia. Gunung Rinjani tampak anggun, dengan gaun cokelatnya yang sama saat pertama kali kulihat sosoknya di jalur awal pendakian. Sedikit menangkap surat tantangan dari angin yang melaju, Sang Gunung menyampaikan pesannya secara tersirat, mesra “ silahkan perawani aku wahai manusia kecil, capailah ke arahaku, dan dapatkan harta sejati yang selama ini kau inginkan dariku “. Sialan !! aku mengumpat, cantik sekali si Rinjani.

            Dentingan nasting, tangan – tangan gemulai yang sibuk meracik mahakarya kuliner yang kami ciptakan sendiri, api mungil yang mampu membuat sekitar limaratus mililiter air mendidih dengan tersendat – sendat serta tungku buatan yang telah berhasil kuciptakan mampu membuat spiritus ungu itu menyala berkobar. Jelas aku tidak mahir dalam memasak, sedikit banyak aku belajar dari teman – temanku, maka dalam waktu sekitar enam puluh menitan, mungkin ? sumber karbohidrat, protein serta glukosa itu telah tersaji dan memanjakan usus ku untuk segera ditransfer menjadi energi yang siap ku gunakan.
            Jelas ada oknum yang harus bertanggungjawab pada kami, bertanggungjawab karena berhasil membangunkan sembilan nyawa yang tadinya tertidur dalam perlindungan tenda. Dingin menusuk nusuk kain tenda, berusaha menembus. Suasana diluar tenda adalah pemandangan yang aneh, ratusan titik cahaya menyala berbaris berjajar dan mengular. Nampaknya pendakian telah dimulai. Setelah berkutat pada alat perlindungan diri masing masing toh pada akhirnya kami juga masuk dalam barisan panjang mengular tersebut. Sebenarnya ini keputusan yang agak ngeri, mengingat kondisi perbekalan kami yang cukup ekstrim : satu setengah liter air dan dua nasting puding, masing masing vanila dan cokelat, untuk sembilan dari kami. Yaah, kami ambil resiko itu, resiko menyeramkan kalau kataku, well, masing masing harus sudah menyadari dan harus bertanggungjawab atas diri serta kelompoknya. Ya Tuhan, kuatkan nyawaku. Kuatkan kedelapan nyawa sahabatku.
            Aku cukup bangga terhadap adaptasi aneh yang diberikan oleh tubuhku, walaupun ingin sekali rasanya punya botol minumku sendiri, namun setidaknya tubuhku bisa menekan kebutuhan airnya, mengkondisikan bagaimanapun caranya air yang kami miliki bisa tersuplai rata. Aku menatap lurus ke atas, sejauh yang leherku bisa mendongak.  Mengamati, sekali lagi, ini pemandangan aneh. Sejauh yang ku lihat adalah titik titik putih panjang dan bergerak secara lambat, namun pasti. Membuat semacam alur bagai jalan ular, tak perlu takut untuk tersesat, pikirku, karena jelas cahaya titik itu menuntunmu hingga puncak. Walaupun toh aku bersikukuh bahwa kami harus tetap bersama, namun apa daya. Kami harus menghargai kondisi, kami harus menghargai sikap, kami harus menghargai tujuan pasti. Dan masing – masing punya caranya tersendiri untuk itu. Terpisah yang menyenangkan.
            Jalanku mantap, atau setidaknya aku berusaha keras untuk memantapkannya. Sadar bahwa pengendalian telapak kakiku harus menyeimbangi langkah kaki seseorang. Sudah pasti tidak akan mendahului sumber energi semesta dari tanah puncak, namun siapa yang peduli ? yang jelas aku menikmati berjalan bersama dengan temanku. Posisi matahari agak menjengkelkan, tentu, karena ada dibalik sisi kanan lekukan punggung Rinjani. Sungguh tidak apa, kebahagiaan kecil tetap terabadikan dalam kamera ponsel kami. Kali ini alur itu semakin jelas, punggung Rinjani melekuk menjadi tiga bagian ke arah kanan yang meninggi hingga samar kulihat warna merah dan putih itu mnegejek dari atas, berkibar. Sisi kananku menampilkan rona biru segara anakan, serta, jika mau teliti, maka nampak gunung Agung dari pulau Bali, terlihat jelas. Kami sudah di atas lautan gelombang gumpalan gulali putih.
            Rasanya seakan sudah tidak peduli dengan persaan kebas di tubuhku akibat jaket yang ku kenakan. Nyaris selalu bertanya kapan jalanan yang didominasi kerikil dan bebatuan ini akan berakhir. Tiba – tiba saja pelukan selamat datang menyertaiku, pelukan keberhasilan, pelukan hangat dari teman – temanku. Dan seketika tubuhku sudah ambruk, aku berusaha meluruskan kakiku, dan memandang palang merah bertuliskan tigaribu tujuhratus duapuluh enam meter di atas permukaan laut. Bendera merah – putih berkibar tanpa mempedulikan tatapanku. Aku berhasil, sebagian kami berhasil. Seakan berbisik mesra ke telinga Rinjani, “ hei, lihat, aku dan temanku berhasil melaksanakan tantanganmu ! “ . Aku menghirup udara sekuat yang bisa kulakukan, berusaha mendapatkan sebanyak mungkin oksigen guna memanjakan otot – otot ku yang protes kelelahan. Woow.
            Selanjutnya adalah ritual keberhasilan. Menyaksikan berbagai pasang mata yang berbinar senang, sesekali menertawakan perjuangan konyol untuk dapat sampai ke sini, teriakan kemenangan, air mata tentu saja, ponsel berkamera yang saling beradu memandang bosan ke pemiliknya yang bergaya norak, bunyi jantung yang berdegub kencang terlalu bersemangat memompa darah, ekspresi melongo, takjub, skeptis, senang, sedih mungkin. Semuanya itu adalah ulah sel sensorik dan motorik serta saraf indra para pendaki, melihat dengan rakus apa pun yang terlihat, menghirup dengan serakah segala gas yang tersebar, mendengar sesuatu yang mereka sebut suara alam, merasakan sentuhan lembut kasar partikel – partikel yang tercecar, mensesap pengalaman saat tubuhnya berada di puncak gunung Rinjani. Apa yang disuguhkan Rinjani tampak begitu luar biasa.
            Aku yakin titik oranye sebesar sepersekian juta mili meter itu adalah tenda milik kami. Aku sadar jalu pendakian kami ternyata sangat panjang dan menarik. Sesuatu yang dengan jelas terlihat dari atas ketinggian ini. Kira – kira kami diharuskan turun sejarak vertikal sebesar seribu tujuhratus delapanbelas meter, dan entah berapa kilometer dalam jarak vektor langkah kaki kami menuju tenda oranye tersebut. Nampak tumbuhan edelwis di sisi kanan ku saat tiga perdelapan perjalanan turun, sesuatu yang tidak kusadarai sampai cahaya mengenai tumbuhan paling seksi di area punggung gunung ini. Salah satu aksesoris perhiasan Rinjani yang berharga, edelwis itu. Salah satu pemandangan yang bisa ku lihat saat pantatku menempel ke tanah sembari melemaskan otot kakiku, yang akan kupaksa membawa berat tubuhku berjalan turun. Berjalan turun melalui jalur yang sama ketika kami menginjaknya beberapa jam yang lalu.
            Dan saat masa itulah seakan aku masuk dalam wahana gratis yang dengan spesial diberikan Rinjani secara cuma – cuma. Dia memanggil matahari dan menuntut kepadanya agar bersihkeras menemani perjalanan turun kami, tepat diatas kepala ku, kepala kami semua. Dia menyediakan tanah berkerikil yang mampu memantulkan bayangan semu ke dalam lensa mataku seakan berusaha membuatku limbung. Hawa yang sedikit menyengat, hingga mampu memperlambat aliran darah di otaku. Jalanku mulai gontai, aku berpikir bahwa seperti inilah cara berjalan orang yang terlalu berlebih mengonsumsi cairan beralkohol. Namun yang kali ini berbeda, aku bahkan nyaris tidak mengonsumsi cairan apapun. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan apa itu yang disebut dengan dehidrasi.
            Detik seakan bergerak lambat, lebih lambat dari siput. Sekan tak kenal ampun, detik selalu mempermainkan jarak dengan tenda oranye kami. Sabar ? itu pasti, bahkan sampai meledak – ledak. Hal yang kuingat sebelum akhirnya aku melahap dengan ganas indomie goreng mentah di depan tenda kami adalah kabut tebal yang menyerbu pepohonan pinus dan menyublim menjadi cair sehingga menghasilkan titik – titik air hujan dan jatuh bertebaran ditudung jaketku. Aku membuka mulut dan menjulurkan lidahku sepanjang yang aku bisa demi mendapatkan senyawa hidrogen minus yang bertransformasi dengan dua ion oksigen. Sejuk, air embun berusaha membasahi lidahku yang terlanjur dijajah oleh kalenjar.
            Yang kemudian terjadi adalah obrolan lagi. Saling mengolok sayang satu sama lain. Kembali berdesakan hangat dalam sleeping bag. Kegiatan rutin yang monoton saat harus mengepak barang. Punggung yang seakan sudah menyerah dengan teriakan protesnya seakan memang sudah tahu akan tugasnya menerima beban carier. Hingga hening yang cukup menyenangkan. Nafas yang sedikit atau mungkin secara terang – terangan menggebu. Dingin. Pertanyaan yang hampir mirip dan mebutuhkan jawaban pasti dan sesegera mungkin. Sesekali bunyi lambung merengek yang hanya bisa didengar oleh pemiliknya sendiri. Berjalan, melompat, merangkak mengikuti alur sambil menyamakan petunjuk waktu yang didapat. Permukaan kuning yang ramah dengan semburat hijau, cokelat serta abu – abu menjadi santapan indera pengelihatan.
            Hingga akhirnya langkah – langkahku menjadi ringan saat melihat permukaan cair luas yang terjebak di ketinggian duaribu meter ini. Segara Anakan tak mau repot menyambut kedatanagan rombongan kami. Terlalu  bosan dengan orang – orang macam kami. Tapi toh dia tetap menyediakan ukuran kecil meter perseginya pada kami, pada tempat tenda oranye kami berdiri. Kelegaan yang entah bagaimana mendiskripsikannya. Aku tak pernah mengira akan berendam air panas belerang di sisi lembah belakang Segara Anakan. Siapa peduli kalau aku bertelanjang dan hanya memakai celana dalamku saja ? oke, memang ada yang mempertanyakan hal itu, tapi masa bodoh lah. Kolam tampungnya sempurna, sempurna dari alam yang bisa mereka berikan. Dengan air yang mengalir dari pipa besi yang tumpul akibat endapan belerang, panas yang menyenangkan. Terapi yang sangat pantas didapatkan oleh tubuhku. Melancarkan aliran darah, memanjakan otot leher, pundak, tangan, kaki serta punggung. Aku berusaha menggosok lepas semua material tanah yang melekat didiriku. Penghargaan tertinggi bagi kami bisa menikmati rendaman air panas ini.
            Kami berhasil memancing setidaknya tujuh belas ekor ikan seukuran jari tengahku. Yaah, teman – temanku yang berhasil melakukannya, karena aku sangat payah dalam memancing, tak seekor pun bisa kutangkap. Salah satu makan malam terbaik ku, bagaimana tidak, dikelilingi oleh orang – orang tangguh dengan landscape pemandangan danau yang akan membuat orang lain iri saat kau menunjukan potret dirimu di depan danau. Kali ini terlihat jelas sosok Segara Anakan, permukaannya hampir tenang, tak mau repot dengan gangguan kerikil yang dilempar ke arahnya hanya untuk menciptakan gelombang. Bukit yang mengelilinginya pun nampak memancarkan warnanya, abu – abu dengan bercak hijau yang menunjukan segerombolan pohon yang menempel santai di kulitnya. Agak tengah menjorok ke sebelah kiri terbentuk suatu gunung berwarna cokelat. Perlu perahu agar bisa mencapai ke tempatnya, tapi menurutku sungguh sangat tidak bijaksana menginjakkan sepatu mu di sana. Kabut turun sesuai dengan siklusnya, bebek berwarna putih, satu keluarga kurasa, dengan angkuhnya menggoyang – goyangkan pantatnya saat melewati menyebrangi danau.
            Semua itu terekam dalam seperangkat organ yang kumiliki. Seakan memang sudah dipersiapkan sesuai dengan fungsinya, merekam, mencerna segala informasi yang didapat dari indera tubuhmu kemudian menyimpannya dalam hardisk kasatmata yang sewaktu – waktu bisa kau putar kembali rekaman tersebut. Malam itu adalah salah satu malam yang berbeda dari kebanyakan malam yang ku lalui. Malam penuh titik cahaya bintang, jika beruntung siluet bintang jatuh adalah pemandangan yang nyaris jarang bisa didapatkan. Aku termasuk orang yang  beruntung tersebut. Dan apa salahnya memohon suatu permintaan ? berharap penuh dapat terkabulkan. Malam dengan jaket serta syal yang melilit di atas ketinggian dua ribu meter, berdesakan dengan tubuh – tubuh yang lelah. Semua terekam, kalaupun terlewatkan, aku tak ambil pusing.
            Aku mengingat sejernih otak ku bisa memutar piringan kaset rekamannya. Perjalanan pulang melewati sisi lain lembah ini, jalur Senaru punya tantangannya sendiri. Kami diwajibkan naik mencapai titik bukit tinggi yag mengelilingi danau, dan selebihnya turun. Aku ingat alam dengan pesonanya seolah memaksa kami menerima cindera mata yang diberikannya. Temanku yang mendapatkannya, namun rasanya kami juga mempunyai rasa memilikinya. Saling menjaga satu sama lain, sekali lagi sebuah pertolongan adalah kebutuhan primer saat ini. saling menggenggam tangan saat menaiki anak tangga yang terbentuk dengan cantik dari lereng bebatuan, dengan disuguhkan pemandangan dari perspektif dan sudut yang berbeda saat menoleh ke arah Segara Anakan, serta udara yang nyaris sejuk merasuk menembus tulang rusuk.
            Aku jelas menyukai jalur Senaru. Jalur ini berupa hutan rindang yang nyaman. Walaupun aku membenci beberapa bagian saat kerikil – kerikil sialan itu mencoba masuk ke sela - sela sandal dan kakiku yang berkaus kaki, namun toh aku hanya mengumpat dalam hati, efeknya hanya beberapa lembar tambahan perban yang melingkar pada sepuluh jariku serta telapak kakiku. Selebihnya aku masih bisa berjalan. Menariknya suasana yang diberikan cukup damai. Cahaya matahari nampak berusaha menembus sela - sela daun rindang pohon disekeliling jalur kami. Aku tak perlu mengkhawatirkan oksigen, aku tak perlu mengkhawatirkan rasa sakit yang meusuk kepalaku. Semuanya berjalan sebagaimana mestinya, tanpa memperdulikan teori apapun. Mereka bilang, teorinya adalah waktu yang diperlukan untuk menuruni gunung adalah setengah dari waktu yang diperlukan saat mendaki. Dan itu hanya berlaku apabila syarat dan ketentuannya dipenuhi. Sejauh yang kupahami, aku bahkan tidak berusaha memenuhi syarat dan ketentuannya.
            Perjalananku cukup bersahabat. Aku dan temanku, cuman kami berdua yang ada pada gardu belakang. Dan tanpa sepengetahuan kami berdua, sepertinya dari awal Senaru sudah merencanakan hal ini. Jam terbangku masih tergolong sedikit dalam hal pendakian, jelas aku belajar banyak dari percakapan yang kami ciptakan saat menuruni jalur Senaru. Pengalaman mendaki, apa yang terjadi di belahan gunung lain, apa yang harus dan tidak dilakukan, kadang kami mencaci maki perbuatan konyol kami. Aku sedikit banyak menjadi pendengar, sesekali aku menimpali dengan cerita yang memang diperlukan. Berusaha mengimbangi percakapan, dan yah, usahaku tak terlalu buruk, usaha kami untuk mengacuhkan waktu bisa dinilai berhasil. Semuanya keluar sebisa lisan mampu mengeluarkannya, tugas kuliah, dosen, angkatan, politik, pemerintahan, badan eksekutif mahasiswa, studi eksursi, laboratorium, himpunan mahasiswa sipil, eiger, limbah, cairan, personality seseorang, caci maki, kebanggaan, himpunan mahasiswa teknik kimia, Surabaya, Jakarta, Lombok, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, beton, dinamika kampus, sosial masyarakat, interaksi serta tetek bengek yang menyertainya. Senaru berhasil membius lisan kami.
            Gerbang itu terlihat jelas, melengkung hijau dengan cat bertuliskan warna putih. Ini adalah titik akhir yang akan terlihat sebagai titik awal bagi mereka yang melewati kami dari arah berlawanan. Namun saat itu sore, aku ragu ada yang berusaha mulai pendakian saat seperti ini. Warung kecil dengan dinding bambu, beratap seng, adalah bentuk peradaban yang pertama kali kami lihat sesaat setelah kami melewati gebang beton itu. Segera saja kebutuhan energiku terpenuhi. Malam itu kami tidur tidak lagi dalam tenda oranye kami. Kami tertidur dalam lantai beralaskan tikar, serta tambahan ekstra bantal empuk yang terakhir kurasakan semenjak enam hari yang lalu. Dengkuran lembut terdengar bagai lagu nina bobo malam itu. Dalam sebuah rumah ramah milik seorang penduduk yang sangat welcome menerima para pendaki.
            Seakan menyedot ingatan waktu, begitu cepat bagai kedipan mata. Menarikku sejauh berkilo kilo meter jauhnya dari Rinjani ke tempatku berada, dalam kondisi yang sama, saling berhimpitan dalam sleeping bag, kali ini bukan dari tenda oranye, melainkan dari tenda hijau tempat kami berempat menghabiskan dingin malam ini. Dalam dingin membekunya udara pegunungan Dieng. Mencoba berkompromi dengan malam, kupaksa kelopak mataku tertutup. Dalam hati menghitung jumlah letusan kembang api serta titik lampion yang beberapa menit yang lalu kami saksikan. Berterimakasih atas sekelumit ingatan tentang tenda oranye tersebut.

Tidak ada komentar: