Hawa dingin
menusuk sampai sum-sum tulang rusuk kami, saat itu pukul sembilan malam. Semua
orang yang kebanyakan memang sengaja untuk datang dan merasakan hawa dingin di
pegunungan Dieng mulai merapat. Topi wol, syal, jaket, sarung tangan serta baju
hangat adalah pemandangan yang majemuk di mataku. Batas antara tanah dingin dan
pantat tempat kami duduk adalah matras, tapi percuma, rasanya air es itu tetap
merembes masuk ke partikel terkecil matras dan mulai menggerogoti celana
training yang kukenakan. Tidak menjadi masalah, aku bersama mereka, menikmati
alunan musik jazz. Ini luar biasa, tidak pernah sekalipun aku melihat titik
titik api lembut berkilau terbang menghiasi langit malam ini, tapi sekarang aku
melihatnya, cantik, dan malam yang membuatnya sempurna.
Lampion-lampion itu memang terbang
sendiri sendiri, tapi kupikir mereka sudah membuat komitmen, kira-kira komitmen
mereka seperti ini, nanti jika kita memang tidak terbang bersama sama, maka
berjanjilah kawan, kita akan bertemu dan membuat tarian indah di atas awan. Dan
aku menjadi saksi janji mereka, melihat mereka menari, menari diatas awan.
Para lampion tampaknya sangat tidak
keberatan ketika seseorang ingin begabung dalam tarian mereka. Kali ini kembang
api sangat senang, kehadirannya disambut hangat oleh lampion-lampion mungil.
Maka kembang api bersiul sangat keras, siulannya keras tapi merdu. Dan setiap
kali kembang api bersiul, maka munculah segerombolan garis garis
melingkar-lingkar berwarna cerah melukis kanfas malam.
Malam itu, dengan tubuh tubuh yang
saling berhimpit, aku relakan tidurku. Empat tubuh saling bergelung ketat dalam
tenda hijau. Matras hitam yang aku pinjam dari sahabat sudah berbaik hati mau
menghangatkan punggung dan kakiku, walaupun dingin tetap menjadi pemenang saat
kami tidur. Suasana seperti ini, hanya bisa membuatku tersenyum dan kangen
dengan tenda oranye milik seorang sahabat. Tenda oranye ini spesial, didalamnya
pernah berbaring orang-orang yang hebat. Tenda oranye yang kumaksud ini
berhasil ditegakkan di bukit lembah Plawangan, Rinjani. Kedua mataku masih
terbuka, menerima serbuan aliran – aliran memoar.
Entah sudah berapa liter kucuran
semangat yang kukeluarkan. Ini adalah pegalaman yang jelas terpatri dalam
ingatanku. Sembilan orang dengan keajaiban waktu berhasil disatukan oleh suatu
tujuan pasti. Sembilan carier sudah terisi penuh alat alat, logistik, pakaian
serta imajinasi, termasuk tenda oranye yang berada di salah satu carier.
Sembilan nadi dalam tubuh yang berbeda sedang mengalirkan darah yang seakan
menuntut untuk segera beralih dari pulau jawa. Yaah, sepertinya lucu bagaimana
kami merencanakan keberangkatan, pagi itu bandara Juanda adalah titik dimana
kami meninggalkan Jawa. Rangka stainless yang kami tempati duduk dengan
seatbelt sedang terbang ke arah tempat dimana waktu berselisih satu jam lebih
maju.
Mendarat di pulau Lombok menjadi awal
petualangan. Dan bus damri yang kami tumpangi menjadi alat transportasi pertama
yang mengantar raga serta carier kami menuju sembalun. Nyaris tidak ada gedung
setinggi lima lantai. Dominasi kendaraan roda dua pun tidak terlalu mencolok.
Menuju Aikmel berkendara dengan elf, namun harus rela berganti dengan mobil
pick up, semata mata hanya karena sistem transportasi disana yang tidak
transparan bagi para pendaki. Ambil sisi positifnya, setidaknya pemandangan
eksklusif dengan mata telanjang berhasil
disajikan dengan apik oleh Lombok.
Di mobil yang bagian belakangnya
terbuka itu, kami berdesakan. Nyaris meluber, tidak hanya berisikan sembilan
kami dan tiga orang mereka, namun juga duabelas carier enam puluh liter lebih,
serta barang kebutuhan pokok penduduk setempat. Aku sudah tidak mempedulikan
angin dingin sejuk yang menampar muka serta mengacak – acak rambutku, aku tidak
peduli, aku menikmatinya. Aku menikmati bukit hijau yang kulihat seakan
mengejek syall bonek yang kubawa, seolah berkata ‘hei, warna hijauku lebih
hijau dan tajam dari hijau bonekmu’. Aku menikmati embun yang seakan bersusah
payah membentuk selimut tebal diatas kepala kami. Aku menikmati parade
agustusan yang membuat pick up kami harus melambat, dengan orang orang di kanan
kiri kami, melambai menatap kami, kami pun menatap mereka. Aku hanya meringis
melihat mereka, barisan parade dengan baju warna warni cerah plus gerakan
mereka yang nyaris serempak.
Pukul tujuh belas waktu sembalun,
gang kecil itu menatap ke arah ku. Gang kecil yang menjadi semacam portal
selamat datang bagi para pendaki menuju area sawah terbuka. Ketika semua persiapan
sudah selesai, barang dan tekad tentunya. Ini saatnya kami berjalan.
Mengandalkan otot serta tulang kaki. Berdoa kepada Tuhan, semoga alas kaki yang
kupinjam ini dapat bertahan dari kejutan sang Rinjani. Melewati pos pertama,
sebuah tenda kecil berisikan seorang ayah dan putranya, mereka berbaik hati
sudah membuat api unggun. Kesempatan bagi kami untuk melancarkan aliran darah
telapak tangan kami. Di seberang tenda mereka terdapat bangunan pos kayu tempat
carier kami tanggalkan untuk sejenak.
Pos kedua ada setelah jembatan, sudah
ada beberapa teman pendaki yang mendirikan tendanya. Dan malam gelap waktu itu
adalah saksi mati berdirinya tenda oranye perdananya. Tanpa kesulitan berarti
sang tenda bisa bersanding kokoh di lantai jembatan. Ajaibnya, ruangan dalam
yang disajikan si tenda bisa menampung kesembilan tubuh kami. Bagai perisai
kami malam itu, sang tenda memberikan kenyamanan yang mampu dia berikan.
Mungkin akan meminta maaf pada kami sembari tertawa karena melihat gaya tidur
kami yang saling berdempetan, rapat, bergerak hanya sejauh tiga sentimeter
kekiri dan kanan, punggung bertemu punggung, tangan yang hanya bisa melekat
erat pada tubuh serta sleeping bag yang membungkus erat tubuh kami. Hangat.
Porter adalah mereka yang memberikan
jasa angkut barang – barang para pendaki. Mereka adalah penduduk sekitar daerah
sembalun maupun senaru, mata pencaharian yang wajar mengingat daerah tempat
tinggal mereka adalah jalur pendakian Rinjani. Mereka yang menyewa jasa porter
biasanya yang memiliki kemampuan uang yang cukup luar biasa. Sebanding dengan
apa yang disajikan para porter. Tidak tanggung – tanggung, perlengkapan mereka
tergolong yang ‘moderen’ di area gunung. Bahkan logistik yang dibawa oleh
mereka mampu membuat iri sejadi – jadinya bagi yang melihat. Menu omlete,
sandwich, bahkan nasi goreng mampu tersajikan dengan pantas kepada pendaki yang
kebanyakan berambut pirang dan berkulit putih pucat itu. Oke, aku sangat tidak
terima dengan nasi gorengnya. Ha ha ha.
Yang jelas, para porter punya kebaikan
tersendiri bagi pendaki macam kami. Tiga buah jeruk lezat berhasil kami
dapatkan dari mereka, saat kami beristirahat di pos tiga. Menambah sedikit
glukosa yang berarti bagi darah kami yang ngos-ngosan. Start yang cukup manis
untuk mengawali perjalanan selanjutnya menuju area camp terakhir Plawangan,
sebelum akhirnya terdengar teriakan teriakan protes dari beberapa anggota
tubuh. Rinjani dengan jelas seakan menampilkan pesonanya yang teramat sombong.
Tubuhnya yang nampak cokelat muda pucat dengan guratan – guratan yang terartur
berhasil tertangkap oleh iris mataku. Punggung itu menjulan tinggi, berbelok
membentuk sudut sebelum berakhir pada puncak, menatapku dingin.
Mereka bilang itu bukit penyesalan,
jumlahnya yang kuhitung ada tiga menjulang lurus dengan sudut meninggi,
menghilang di garis perbatasan horizontal langit biru muda. Nyaris tidak
selesai selesai kaki kami berjuang menghantam bukit penyesalan, selesai satu
bukit, tumbuh bukit satunya. Jelas aku membenci tanah berpasir debu cokelat
yang merupakan salah satu komposisi penyususn bukit penyesalan. Selalu terbang
membubung saat sandal gunungku menginjak tanah tersebut, ataupun sepatu teman
pendaki lain saat turun melewatiku. Aku tidak menyalahkan keduanya, baik tanah
maupun pendakinya. Ini soal bagaimana kamu beradaptasi dengan mereka. Masker
dan kacamata adalah penyelamatku.
Harus mengeluarkan tenaga ekstra
saat sedang menolong temanmu yang kesulitan, ini bukan soal sok pahlawan.
Persetan dengan itu. Tapi memang sebuah pertolongan adalah nyaris mendekati
kebutuhan pokok saat mendaki gunung. Beruntung tenda oranye kami sudah menanti
di atas sana, berada di kumpulan banyak tenda pendaki lain. Melihatnya adalah
pemandangan yang sangat mengharukan. Setelah kaki kami melewati malam gelap
diantara pepohonan tinggi.dengan suasana gemersik sunyi daun daun, setelah
punggung kami yang mendemo segera untuk dibebaskan dari beban berat carier
kami, bukit penyesalan itu sudah usai. Yang tersaji dedepan ku adalah titik
titik cahaya dari tenda tenda yang berusaha menjadi perisai malam penghuninya.
Hamparan luas tanah di depan, masih
menyembunyikan rahasianya kala malam. Mungkin aku akan mendapat kejutan yang
berarti keesokan harinya. Pukul duapuluh satu di Plawangan, menatap bintang
yang berpendar penuh semangat, siluet gelap pungung – punggung bukit yang
melingakari permukaan yang tampak mirip seperti kaca,
“itu segara
anakan nya, tidak terlihat memang, kita harus sedikit bersabar untuk melihatnya
esok saat si surya nongol“ kata seorang temanku, menjawab deskripsi permukaan
mirip kaca tersebut.
“oh,
woow” hanya sebatas itu aku membalasnya. Jelas itu permukaan air yang
menggenang luas dan berhasil memantulkan cahaya bintang yang membuatnya tampak
seperti kaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar