Senin, 01 Desember 2014

Langit Itu Milik Tenda Oranye (1)



Hawa dingin menusuk sampai sum-sum tulang rusuk kami, saat itu pukul sembilan malam. Semua orang yang kebanyakan memang sengaja untuk datang dan merasakan hawa dingin di pegunungan Dieng mulai merapat. Topi wol, syal, jaket, sarung tangan serta baju hangat adalah pemandangan yang majemuk di mataku. Batas antara tanah dingin dan pantat tempat kami duduk adalah matras, tapi percuma, rasanya air es itu tetap merembes masuk ke partikel terkecil matras dan mulai menggerogoti celana training yang kukenakan. Tidak menjadi masalah, aku bersama mereka, menikmati alunan musik jazz. Ini luar biasa, tidak pernah sekalipun aku melihat titik titik api lembut berkilau terbang menghiasi langit malam ini, tapi sekarang aku melihatnya, cantik, dan malam yang membuatnya sempurna.
            Lampion-lampion itu memang terbang sendiri sendiri, tapi kupikir mereka sudah membuat komitmen, kira-kira komitmen mereka seperti ini, nanti jika kita memang tidak terbang bersama sama, maka berjanjilah kawan, kita akan bertemu dan membuat tarian indah di atas awan. Dan aku menjadi saksi janji mereka, melihat mereka menari, menari diatas awan. Para  lampion tampaknya sangat tidak keberatan ketika seseorang ingin begabung dalam tarian mereka. Kali ini kembang api sangat senang, kehadirannya disambut hangat oleh lampion-lampion mungil. Maka kembang api bersiul sangat keras, siulannya keras tapi merdu. Dan setiap kali kembang api bersiul, maka munculah segerombolan garis garis melingkar-lingkar berwarna cerah melukis kanfas malam.
            Malam itu, dengan tubuh tubuh yang saling berhimpit, aku relakan tidurku. Empat tubuh saling bergelung ketat dalam tenda hijau. Matras hitam yang aku pinjam dari sahabat sudah berbaik hati mau menghangatkan punggung dan kakiku, walaupun dingin tetap menjadi pemenang saat kami tidur. Suasana seperti ini, hanya bisa membuatku tersenyum dan kangen dengan tenda oranye milik seorang sahabat. Tenda oranye ini spesial, didalamnya pernah berbaring orang-orang yang hebat. Tenda oranye yang kumaksud ini berhasil ditegakkan di bukit lembah Plawangan, Rinjani. Kedua mataku masih terbuka, menerima serbuan aliran – aliran memoar.

            Entah sudah berapa liter kucuran semangat yang kukeluarkan. Ini adalah pegalaman yang jelas terpatri dalam ingatanku. Sembilan orang dengan keajaiban waktu berhasil disatukan oleh suatu tujuan pasti. Sembilan carier sudah terisi penuh alat alat, logistik, pakaian serta imajinasi, termasuk tenda oranye yang berada di salah satu carier. Sembilan nadi dalam tubuh yang berbeda sedang mengalirkan darah yang seakan menuntut untuk segera beralih dari pulau jawa. Yaah, sepertinya lucu bagaimana kami merencanakan keberangkatan, pagi itu bandara Juanda adalah titik dimana kami meninggalkan Jawa. Rangka stainless yang kami tempati duduk dengan seatbelt sedang terbang ke arah tempat dimana waktu berselisih satu jam lebih maju.
            Mendarat di pulau Lombok menjadi awal petualangan. Dan bus damri yang kami tumpangi menjadi alat transportasi pertama yang mengantar raga serta carier kami menuju sembalun. Nyaris tidak ada gedung setinggi lima lantai. Dominasi kendaraan roda dua pun tidak terlalu mencolok. Menuju Aikmel berkendara dengan elf, namun harus rela berganti dengan mobil pick up, semata mata hanya karena sistem transportasi disana yang tidak transparan bagi para pendaki. Ambil sisi positifnya, setidaknya pemandangan eksklusif dengan mata telanjang  berhasil disajikan dengan apik oleh Lombok.
            Di mobil yang bagian belakangnya terbuka itu, kami berdesakan. Nyaris meluber, tidak hanya berisikan sembilan kami dan tiga orang mereka, namun juga duabelas carier enam puluh liter lebih, serta barang kebutuhan pokok penduduk setempat. Aku sudah tidak mempedulikan angin dingin sejuk yang menampar muka serta mengacak – acak rambutku, aku tidak peduli, aku menikmatinya. Aku menikmati bukit hijau yang kulihat seakan mengejek syall bonek yang kubawa, seolah berkata ‘hei, warna hijauku lebih hijau dan tajam dari hijau bonekmu’. Aku menikmati embun yang seakan bersusah payah membentuk selimut tebal diatas kepala kami. Aku menikmati parade agustusan yang membuat pick up kami harus melambat, dengan orang orang di kanan kiri kami, melambai menatap kami, kami pun menatap mereka. Aku hanya meringis melihat mereka, barisan parade dengan baju warna warni cerah plus gerakan mereka yang nyaris serempak.
            Pukul tujuh belas waktu sembalun, gang kecil itu menatap ke arah ku. Gang kecil yang menjadi semacam portal selamat datang bagi para pendaki menuju area sawah terbuka. Ketika semua persiapan sudah selesai, barang dan tekad tentunya. Ini saatnya kami berjalan. Mengandalkan otot serta tulang kaki. Berdoa kepada Tuhan, semoga alas kaki yang kupinjam ini dapat bertahan dari kejutan sang Rinjani. Melewati pos pertama, sebuah tenda kecil berisikan seorang ayah dan putranya, mereka berbaik hati sudah membuat api unggun. Kesempatan bagi kami untuk melancarkan aliran darah telapak tangan kami. Di seberang tenda mereka terdapat bangunan pos kayu tempat carier kami tanggalkan untuk sejenak.
            Pos kedua ada setelah jembatan, sudah ada beberapa teman pendaki yang mendirikan tendanya. Dan malam gelap waktu itu adalah saksi mati berdirinya tenda oranye perdananya. Tanpa kesulitan berarti sang tenda bisa bersanding kokoh di lantai jembatan. Ajaibnya, ruangan dalam yang disajikan si tenda bisa menampung kesembilan tubuh kami. Bagai perisai kami malam itu, sang tenda memberikan kenyamanan yang mampu dia berikan. Mungkin akan meminta maaf pada kami sembari tertawa karena melihat gaya tidur kami yang saling berdempetan, rapat, bergerak hanya sejauh tiga sentimeter kekiri dan kanan, punggung bertemu punggung, tangan yang hanya bisa melekat erat pada tubuh serta sleeping bag yang membungkus erat tubuh kami. Hangat.
            Porter adalah mereka yang memberikan jasa angkut barang – barang para pendaki. Mereka adalah penduduk sekitar daerah sembalun maupun senaru, mata pencaharian yang wajar mengingat daerah tempat tinggal mereka adalah jalur pendakian Rinjani. Mereka yang menyewa jasa porter biasanya yang memiliki kemampuan uang yang cukup luar biasa. Sebanding dengan apa yang disajikan para porter. Tidak tanggung – tanggung, perlengkapan mereka tergolong yang ‘moderen’ di area gunung. Bahkan logistik yang dibawa oleh mereka mampu membuat iri sejadi – jadinya bagi yang melihat. Menu omlete, sandwich, bahkan nasi goreng mampu tersajikan dengan pantas kepada pendaki yang kebanyakan berambut pirang dan berkulit putih pucat itu. Oke, aku sangat tidak terima dengan nasi gorengnya. Ha ha ha.
            Yang jelas, para porter punya kebaikan tersendiri bagi pendaki macam kami. Tiga buah jeruk lezat berhasil kami dapatkan dari mereka, saat kami beristirahat di pos tiga. Menambah sedikit glukosa yang berarti bagi darah kami yang ngos-ngosan. Start yang cukup manis untuk mengawali perjalanan selanjutnya menuju area camp terakhir Plawangan, sebelum akhirnya terdengar teriakan teriakan protes dari beberapa anggota tubuh. Rinjani dengan jelas seakan menampilkan pesonanya yang teramat sombong. Tubuhnya yang nampak cokelat muda pucat dengan guratan – guratan yang terartur berhasil tertangkap oleh iris mataku. Punggung itu menjulan tinggi, berbelok membentuk sudut sebelum berakhir pada puncak, menatapku dingin.
            Mereka bilang itu bukit penyesalan, jumlahnya yang kuhitung ada tiga menjulang lurus dengan sudut meninggi, menghilang di garis perbatasan horizontal langit biru muda. Nyaris tidak selesai selesai kaki kami berjuang menghantam bukit penyesalan, selesai satu bukit, tumbuh bukit satunya. Jelas aku membenci tanah berpasir debu cokelat yang merupakan salah satu komposisi penyususn bukit penyesalan. Selalu terbang membubung saat sandal gunungku menginjak tanah tersebut, ataupun sepatu teman pendaki lain saat turun melewatiku. Aku tidak menyalahkan keduanya, baik tanah maupun pendakinya. Ini soal bagaimana kamu beradaptasi dengan mereka. Masker dan kacamata adalah penyelamatku.
            Harus mengeluarkan tenaga ekstra saat sedang menolong temanmu yang kesulitan, ini bukan soal sok pahlawan. Persetan dengan itu. Tapi memang sebuah pertolongan adalah nyaris mendekati kebutuhan pokok saat mendaki gunung. Beruntung tenda oranye kami sudah menanti di atas sana, berada di kumpulan banyak tenda pendaki lain. Melihatnya adalah pemandangan yang sangat mengharukan. Setelah kaki kami melewati malam gelap diantara pepohonan tinggi.dengan suasana gemersik sunyi daun daun, setelah punggung kami yang mendemo segera untuk dibebaskan dari beban berat carier kami, bukit penyesalan itu sudah usai. Yang tersaji dedepan ku adalah titik titik cahaya dari tenda tenda yang berusaha menjadi perisai malam penghuninya.
            Hamparan luas tanah di depan, masih menyembunyikan rahasianya kala malam. Mungkin aku akan mendapat kejutan yang berarti keesokan harinya. Pukul duapuluh satu di Plawangan, menatap bintang yang berpendar penuh semangat, siluet gelap pungung – punggung bukit yang melingakari permukaan yang tampak mirip seperti kaca,
“itu segara anakan nya, tidak terlihat memang, kita harus sedikit bersabar untuk melihatnya esok saat si surya nongol“ kata seorang temanku, menjawab deskripsi permukaan mirip kaca tersebut.
“oh,  woow” hanya sebatas itu aku membalasnya. Jelas itu permukaan air yang menggenang luas dan berhasil memantulkan cahaya bintang yang membuatnya tampak seperti kaca.

Tidak ada komentar: